Selamat Datang di Blog Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas X.4 SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan
Tingkatkan Prestasi dengan Mencintai dan Melestarikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Minggu, 13 Januari 2013

KRITIK TERHADAP NOVEL AYAT-AYAT CINTA

I. MENURUT MUHAMMAD FATHAN HIZBUDDIN

Makna yang terkandung dalam novel ini sangatlah berarti dan juga tergambar dengan baik suasana sesungguhnya di Mesir sana. Tetapi ada kalimat-kalimat yang terlalu vulgar dalam novel ini yang sebaiknya dapat diminimalisir.
Dalam novel ini juga terdapat unsur-unsur islami yang yang dituangkan oleh penulis kepada tokoh-tokohnya, tetapi yang sedikit dipertanyakan adalah tokoh Fahri yang digambarkan begitu sempurna,hampir tidak ada suatu keburukan dalam dirinya, padahal setiap manusia itu pasti punya salah.


II. MENURUT GENTA FIKRI HARDIANSAH
Novel ini dari segi penjelasan karakter, amanat, dan lain–lainnya sudah cukup digambarkan dengan baik, tapi menurut saya terlalu banyak latar yang dimasukan dalam novel ini.

III. MENURUT NAUFAL RAHADYAN PRAHASTYA

Ayat-Ayat Cinta novel yang cukup bagus yang berfokus dengan cerita cinta yang mengandung keislaman.
Tetapi, walaupun memiliki banyak referensi islam yang dapat meningkatkan iman umat islam. Novel ini, memiliki satu kelemahan menurut saya, yaitu bahwa cerita di novel ini kurang cocok untuk pihak yang umurnya rendah (anak-anak) ini dikarenakan hal-hal yang vulgar dan yang kurang manusiawi yang ditulis di salah satu chapter di novel ini. Selain itu, saya menganggap bahwa topik yang dipentingkan di novel itu, yaitu cinta segitiga (sebenarnya lebih), kurang bagus untuk bacaan anak-anak.


IV. MENURUT ANISAH KHAIRIYYAH
Menurut saya novel ini ceritanya menarik, bahasanya mudah dimengerti, berisikan agama yang kuat dan banyak amanat yang terkandung didalamnya, tetapi menurut saya novel ini agak sedikit “Itu” maksudnya sedikit porno, seperti siksaan Fahri dipenjara.

V. MENURUT MAULANA ALDIRA HARIASMADA
Kenapa penulis novel ini membuat Maria meninggal? Kan seharusnya dibuat ditidak meninggal supaya lebih seru dan panjang.

VI. MENURUT STEVEN DWISETYA
Sebenarnya ceritanya sudah sangat bagus, banyak pendidikan yang ditanamkan di dalam buku ini, dan juga banyak hal positif yang didapat jika kita membaca buku ini. Ceritanya pun diceritakan secara mendetail, yang dimaksud detail disini adalah diceritakannya cerita ini dengan runtut, terperinci, dan jelas. Hanya saja di dalam buku ini dihadirkan bahasa yang cukup vulgar yang mungkin seharusnya tidak perlu dipakai, tidak perlu saya bicarakan lebih lanjut disini. Saya juga berpikir agaknya terlalu berlebihan kepolisian mesir yang diceritakan di buku ini maksud saya di buku ini kepolisian benar benar tidak punya harga diri dan juga kejam, saya rasa hal itu terlalu berlebihan. Dan secara pribadi saya ingin cerita ini jangan diusaikan terlebih dahulu sebelum mereka pulang ke indonesia. Atau setidaknya cerita tentang keluarga Fahri di Indonesia agak ditekankan karena dalam buku ini seperti selingannya saja. Mungkin hanya itu, selebihnya sudah lebih dari cukup.

VII. MENURUT KEVIN DILAPANGA
Sebenarnya agak kecewa begitu baca buku ini tidak seperti yang digembar-gemborkan oleh beberapa orang yang telah membaca buku ini, saya sudah membayangkan tulisan indah ala Hamka, sastra indah ala Sutardji Calzoum Bachri, namun yang saya baca, Ayat-ayat cinta seperti novel-novel biasa yang penuh kemustahilan meski sarat nilai keislamannya. 


Dipublikasikan oleh :
Kelompok V Bahasa Indonesia
Kelas X.4


Anggota :
1. Anisah Khairiyyah
2. Genta Fikri Hardiansah
3. Kevin Dilapanga
4. Muhammad Fathan Hizbuddin
5. Maulana Aldira Hariasmada
6. Naufal Rahadyan Prahastya
7. Steven Dwisetya
8. Wahyu Siddhi Triatmojo

1 komentar:

  1. Kritik syariat dalam novel ayat-ayat cinta 2

    Ayat-ayat cinta adalah novel yang fenomenal, setelah rilisnya ayat-ayat cinta 1, dan banyak dari kalangan santri yang mengkritik novel tersebut, karena adanya sebuah aqidah agama yang tidak sesuai dengan syara’, kini terbitlah novel yang meneruskanya, yakni ayat-ayat cinta 2.
    Begitu tenarnya novel ini, bahkan baru 5 bulan sudah 4 kali terbit, seperti novel yang pertama, novel inipun juga mengarah pada hal yang kurang tepat yang di kemukakan penulis.
    Pada halaman 142 pada novel ini, telah di muat sebuah tulisan yang dapat merusak akidah orang awam, dan jelas pembaca novel kebanyakan adalah orang yang masih awam akan agama, termasuk diriku ini.
    “bagaimana kalian akan menegakkan khilafah, sedangkan kalian menyatukan hari raya saja tidak bisa!”
    Kata-kata syaikh itu tampak sederhana, namun mengandung fiqih realitas dan fiqih social yang dalam dan luas. “kalian menyatukan hari raya saja tidak bisa!” . padahal idul fitri itu terjadi setelah umat ini di gembleng selama satu bulan penuh pada bulan ramadhan, digembleng lahir dan batin. Di gemleng untuk bersatu. Sholat jamaah bersama, buka puasa bersama, iktikaf bersama. Alangkah indahnya. Namun, begitu selesai Ramadhan untuk syiar bersama dalam hari raya idul fitri bersama ternyata gagal, “kalian menyatukan hari raya saja tidak bisa!”
    Puasa adalah ibadah yang di jauhkan dari riya’, hanya Allah yang tahu,

    Tanpa mengurangi rasa kagum dan takdzimku pada pengarang.
    Dan seperti apa yang di sampaikan ketua MUI dalam sambutan beliau atas karya ini, “ini bukan sekedar novel, tapi ini adalah sebuah pemikiran yang besar”, dan karena itulah, pemikiran yang dapat membahayakan pembaca yang masih awam, terutama dalam masalah aqidah.
    Dalam masalah di atas, penulis seolah-olah menyarankan kita agar menghargai pendapat, dan kita juga boleh mengikuti suatu pendapat, padahal sudah pasti sebagian pendapat itu ada yang keluar dari jalur, dan dengan mudahnya beliau mencontohkan masalah penetapan hari raya yang di kiaskan dengan masalah yang di hadapi para sahabat tentang mengqosor.
    Jika kita lebih jeli, maka di situ sudah beda pembahasan. Padahal dalam masalah penetapan hari raya itu adalah sesuatu yang pasti, dan itu akan mempengaruhi masalah kewajiban puasa. Sedangkan pengilhakan yang beliau pakai adalah masalah qosor sholat. Jumhurul ulama’ telah sepakat bahwa mengqosor sholat itu hanya sebuah keafdholiyahan/keutamaan.
    Maka kurang tepat jikalau beliau memakai dasar sedemikian rupa. Dan beliau seolah-olah memberi pemikiran kepada kita, bahwa kita lebih baik mengikuti pendapat lain, dengan tujuan is’arul islam. Jika kita analog dalam masalah lain, contoh dalam aqidah, pasti akan sangat membahayakan pembaca yang mesih awam akan aqidah.
    Contoh lain : jika kita memiliki golongan ahlussunnah yang minoritas di negeri syi’ah, demi sebuah isy’arul islam, syiah merayakan hari dimana sayyidina Husain di bunuh dengan cara melukai diri mereka,dan syi’ah yang melaknat para sahabat. Sedangkan kita ikut pada pendapat yang mereka terapkan, maka aqidah kita lama ke lamaan akan luntur.
    Ini semua terurai dengan tanpa mengurangi rasa takdzim sekaligus kagum terhadam al aliim pengarang
    Wassalamualaikum waroh matullahi wa barokatuh
    By : ibnu banna email : ibnubanna7@gmail.com fb : anton kurnia / anton_wakilrakyat@yahoo.co.id

    BalasHapus